8/20/11

Disini semua berawal, dan tak akan pernah berakhir..


                 Namche, Geneb, atau apalah sebutannya, suatu sekolah menengah atas negeri yang terletak di daerah Terban, YK. Dengan nama formal yaitu SMA Negeri 6 Yogyakarta, sebuah institusi pendidikan yang berbeda dengan institusi-institusi pendidikan lainnya. Mulai dari lingkungan sekolahnya yang hijau dan identik dengan pohon Beringin, lalu pengajar beserta staffnya, siswa-siswinya, dan tentu saja yang sangat membedakan adalah adat istiadatnya. Disini saya akan langsung membahas hal yg membedakan dari Namche dan tentu saja sangat berkesan dan berarti bagi kami (siswa-siswi ataupun alumni), yaitu adat istiadat Namche.
                Senioritas. Mendengar istilah itu mungkin mayoritas orang akan menganggap semacam bullying oleh kakak kelas kepada adik kelasnya, dapat berupa doktrin-doktrin yang biasanya sifatnya negatif, pengompasan, atau bahkan penganiayaan fisik. Namun di Namche, semua direpresentasikan dengan cara yang berbeda.

  1. Bullying, di Namche kita diajarkan bagaimana respect terhadap yang lebih tua. Dan sebaliknya, yang lebih tua pun selalu mengayomi yang lebih muda. Ada satu tradisi yaitu garapan, dimana kakak kelas menyuruh adik kelasnya untuk bertingkah tolol, memalukan, dan mungkin ra mutu. Tapi dibalik semua itu, garapan hanyalah sebuah sarana untuk melatih mental kami, bahwa apa yang sebelumnya kita merasa malu untuk melakukan tapi setelah dilakukan ternyata yah.. biasa saja, dan mungkin seru. Lalu ada juga tradisi yang disebut foruman, biasanya adik kelas yang melakukan kesalahan seperti tidak respect kepada kakak kelasnya akan diberikan sanksi berupa menu-menu yang terkadang nyleneh, misalnya; Djarum Super isi 15,  Yupi untu drakula, dan benda aneh semacamnya. Mendapatkannya, kita diharuskan bantingan, atau iuran dengan sesame teman angkatan. Dan benda-benda aneh tersebut mau tidak mau yang diforum harus bisa mendapatkannya. Memang kejam tapi unik, bagi adik kelas ini mungkin merupakan pengompasan. Tapi sungguh tidak demikian, foruman ini bertujuan untuk mengembangkan ide dan kreativitas kita bagaimana cara memperoleh sesuatu yang terkadang sukar bahkan tidak bisa kita peroleh dengan cara yang lumrah. Lalu bantingan, melatih rasa kesungguhan kita dalam menanggung resiko dari kesalahan yang telah kita perbuat. Serta menumbuhkan rasa solidaritas sesama dengan cara iuran tersebut. 
  2. Doktrin, di Namche kita tidak didoktrin oleh para senior untuk melakukan hal-hal yang selamanya negatif. Kita dididik untuk bisa “hidup”, kita diajarkan untuk berpikir kritis dan tentu saja juga bertindak, tidak hanya berpikir. Bagaimana kita menyikapi semua hal, dan tidak selalu nurut pada apa itu yang namanya peraturan. Kita diajarkan bagaimana berkomunikasi dengan baik, bagaimana menyampaikan aspirasi kita, bagaimana cara kita menjadi orang yang sembodo, dan banyak hal lain yang tidak selalu negatif, yah mungkin memang ada sedikit hal negatif di dalamnya, seperti tradisi “eksternal” atau bagaimana kita agar dihargai oleh pihak di luar sekolah. Yah, tapi selain itu tentu banyak hal-hal positif lainnya, bukannya penting apa itu yang disebut balance?
  3. Guyub, nah guyub disini harfiahnya yaitu berkumpul atau biasa disebut tethek atau nongkrong. Namun tidak sepenuhnya nongkrong yang tidak bermanfaat, di dalam tethek ini kita dapat menjalin komunikasi antara adik kelas dengan kakak kelas atau antar sesame angkatan, juga dengan alumni-alumni. Kita sharing masalah bersama atau dapat juga masalah pribadi, lalu kita cari solusinya bersama-sama. Atau kita rapat membahas acara-acara sekolah seperti pensi intern, pelantikan-pelantikan ekskul, atau acara besar yang dimiliki oleh Namche yaitu Anniversary Live Music atau ALM, atau apapun yang sekiranya perlu untuk dibicarakan bersama.
              Yah, mungkin tulisan saya mengenai Namche kali ini terlalu formal. Tapi itulah yang keluar di pikiran saya dan merepresentasikannya lewat tulisan. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa 3 tahun berada di Namche sangatlah berkesan dan mendapat banyak ilmu positif dan beberapa yang mungkin sedikit negatif. Saya harap teman-teman Namche yang lain tidak akan lupa atas semua yang telah dilalui bersama-sama di almamater tercinta ini. Karena “disini semua berawal, dan tak akan pernah berakhir.





8/19/11

Habis Jumatan hati terasa tenang…

Hari Jumat yang cukup berbeda dari biasanya, sinar matahari tidak terlalu membakar epidermis. Ya, mungkin karena saya saat ini tinggal di Bandung. Biasa, merantau menuntut ilmu. Dan baru pertama kali juga saya menunaikan sholat Jumat di masjid kampus yang biasa disebut Salman. Sempat terkejut juga ketika sebelum adzan berkumandang , sudah banyak jamaah yang datang memenuhi masjid.
Suasana yang berbeda karena sholat Jumat disini bak sholat Ied ketika hari raya Idul Fitri, banyak jamaah yang tidak dapat tempat di dalam masjid, sampai-sampai menggunakan kertas koran untuk alas sholat di luar sekeliling masjid. Bagi orang-orang sekitar mungkin biasa saja, tapi bagi saya, “apa-apaan? Marai males Jumatan.” Yah, tapi karena tuntutan agama mau tidak mau saya harus tetap menunaikannya.
                Dan berbeda juga saat berlangsung khotbah. Khotib menyampaikan khotbah bak sedang menyampaikan pidato ilmiah atau semacamnya. Topik kala itu mengambil tema kemerdekaan Endonesa, karena tepat dua hari sebelumya negara ini baru saja merayakan hari jadinya yang ke-66. Sang khotib begitu antusias berkhotbah, dengan intonasi bak orator handal. Berceloteh dengan menyertakan survei-survei atau apalah itu istilahnya, sangat melenceng jauh dari suatu khotbah keagamaan. Dan jamaah pun saya lihat tidak jauh berbeda dengan jamaah-jamaah yang saya lihat pada waktu-waktu sebelumnya, ada yang bermain HP, bergurau, ngobrol dengan jamaah lain, terkantuk-terkantuk dan ada pula yang tertidur. Dan saya, hanya mengamati sekeliling sambil sesekali menguap menahan kantuk. Yawn..
                Ketika sholat usai, ingin rasanya saya update Twitter tapi apa daya, handphone saya paling bagus hanya mampu menerangi disaat gelap karena ada lampu senternya. Saya pun iseng menyuruh kekasih saya yang ada di YK untuk meng-update-kan Twitter saya melalu smartphone yang mungkin kebanyakan tidak membuat smart penggunanya.
                Tapi mau bagaimanapun atau dimanapun kita sholat Jumat pastinya akan menimbulkan efek positif setelahnya. Yah.. “habis Jumatan hati terasa tenang.”

Terkadang, yang dibutuhkan hanyalah sedikit pergeseran perspektif.

  Hidup itu tidak adil”. Ya, mungkin pernyataan umum tersebut benar. Bagaimana tidak? Antara si kaya dan si miskin, si pandai dan si bodoh, si ‘sempurna’ dan si ‘cacat’, dan banyak lagi si si yang lainnya, bagai terpisah jurang yang dalamnya mungkin bisa untuk membangun gedung pencakar inti bumi.
            
  Tapi di lain sisi, apa pernyataan semacam “Tuhan itu tidak adil” dapat dibenarkan juga? Tentu saja tidak. Kita mungkin sering tidak menyadari apa potensi dibalik kekurangan yang dilimpahkan Tuhan kepada kita. Kita seringkali hanya melihat kertas yang kotor oleh tinta-tinta hitam dan tanpa menyadari apa ‘background’ dari tinta-tinta hitam nan kotor tersebut. Dan sebenarnya pun tinta-tinta hitam tersebut tidak hanya bermaksud mengotori saja, mungkin juga dapat memberi corak yang dapat membuat kertas yang awalnya putih bersih tersebut terlihat lebih hidup. Ya, kita hanya sering tidak menyadari hal-hal semacam itu. 

  Kita kebanyakan hanya melihat sesuatu dari segi yang itu-itu saja, seringkali hanya ikut-ikutan orang lain yang mungkin juga hanya ikut-ikutan saja. Dalam bidang saya, seni, tidak akan berharga suatu karya yang hanya ikut-ikutan karya orang lain. Karya harus memiliki sesuatu yang khas yang membedakan dengan karya-karya yang lain. Walaupun karya itu mungkin tidak terlalu bagus, bahkan jelek, namun jika memiliki khas dan berbeda, otomatis orang-orang akan menganggap karya itu orisinal dan berharga. Dalam konteks ini berharga tidak hanya berarti dalam segi material.

  Ya, seperti karya seni, hidup pun tidak jauh berbeda. Kita tidak akan maju apabila hanya mengikuti arus yang demikian-demikian saja. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa mengikuti arus yang ada, kita tidak akan bisa apa-apa. Ya memang benar, tapi tidak selamanya juga kita harus terus-terusan hanya mengikuti arus bukan? Dari arus-arus yang kita ikuti, hendaknya kita dapat menciptakan arus baru yang lebih baik daripada arus-arus yang sudah ada. Kita harus merangkai hidup kita sendiri, tidak bergantung pada hal-hal mayoritas yang mungkin monoton, serta tidak stuck oleh keterbatasan yang kita miliki. Kita harus bisa mengubah anggapan bahwa rintangan hanyalah tantangan, dan beban justru merupakan motivasi.
          
  Jadi, to create our own life is need a different thought and different ways. Sedikit pergeseran perspektif umum dapat menciptakan hal baru yang mungkin dapat sesuai dan memang sesuai bagi kita pribadi.
            
  “Life is unfair, but God is. People just didn’t realize it.”